Senin, 05 November 2018

Masih bersama wisata Kebumen dalam LEGENDA R.T. ARUNGBINANG.

                

R.T Aroeng Binang I 

(Djoko Sangkrib)

Bagi mereka yang kurang atau tidak mengetahui dengan betul, mengatakan bahwa trah keturunan R.T. Aroeng Binang I adalah keturunan Kajiman, karena adanya banyak ceritera mengenai Dewi Retno Nawangwulan dari Bulupitu. Maka perlu adanya penjelasan, bahwa Eyang Aroeng Binang I disamping adanya Nawangwulan juga mempunyai isteri-isteri lain dan putera-puterinya sebagai berikut.

I. Dewi Retno Nawangwulan, peputra:
1. Eyang Klantung
2. Eyang Cemeti
3. Eyang Isbandiyah
II. Mas Ajeng Kuning asal Pelegen, peputra:
1. R.Ay. Pangeran Blitar, isteri Pangeran Blitar.
2. R. Honggodirdjo, Kliwon Kabupaten Bumi Sewu di Surakarta, menantu KGPAA. Mangkunegoro I (Pangeran Sambernyowo), karena kawin dengan putra-putrinya yang bernama BRA. Semi.
3. R.Ay. Abdulsalam, isteri Kyai Abdulsalam, Pengulu Kebumen. Kyai Abdulsalam (Ngabdulsalam) semare di Jrakah, putra Kyai Jontrot. Sedangkan Kyai Jontrot adalah putra Pangeran Korowelang di Selomanik, daerah Pejajaran.
4. R.Ay. kromowidjojo (Sala).
III. Mas Ajeng Dewi, asal Winong, peputra:
1. R.Ay. Wonoyudo, isteri Kyai Ngabei Wonoyudo dari Telaga Mirit Prembun.
2. R. Wongsodirdjo (R.T Aroeng Binang II) berputera 23 orang. Yang no. 7 menjadi Bupati Nayaka Sewu dengan nama RT. Djojonegoro dan menjadi menantu Paku Buwono IV dan diangkat sebagai Pepatih Dalem yang kemudian berganti nama R. Adipati Sosrodiningrat. Putri nomor 4 menikah dengan RMT. Aroeng Binang III.
3. Mas Ajeng Wongsodiwiryo, isteri M. Ngabei Wongsodiwiryo Prembun.
4. Mas Ajeng Soerodiwiryo, isteri R. Ng. Soerodiwiryo, Mantri Kabupaten Bumi Sewu.

IV. Mas Ajeng ragil asal Prajuritan, peputra:
1. R. Ng. Wongsodikromo, Penewu kabupaten Sewu di Surakarta.

Kraton Suci di Puncak Pegunungan Bulupitu

   

Bulupitu, tempat ini merupakan suatu pegunungan di kabupaten kebumen, jawa tengah. Konon dulunya bulupitu bukan merupakan suatu pegunungan, masih berbentuk dataran dan hutan. Namun ada seorang ayah yang membuang anaknya yang bernama joko sangkrib, joko sangkrib hanya dibekali sebuah blangkon milik ayahnya dan satu buah tongkat untuk membantu berjalan. Joko sangkrib dibuanng lantaran memiliki penyakit koreng diseluruh tubuhnya. Setelah di suruh pergi oleh ayahnya, joko sangkrib berjalan dari timur menuju barat tanpa tujuan. Lama berjalan joko sangkribpun lelah, dia memutuskan untuk beristirahat, dan diapun tertidur, lama tertidur joko sangkribpun bangun dan mengetahui bahwa dia berada di lereng pegunungan dan berada dibawah pohon besar yang bercabang tujuh atau pitu (dalam bahasa jawa). Konon yang menjadi pegunungan adalah blangkon ayah joko sangkrib, dan pohon yang bercabang tujuh dan berbulu itu merupakan tongkat yang dibawa joko sangkrib, kemudian dia menamai tempat tersebut dengan sebutan bulupitu.
Setelah itu, joko sangkrib berjalan menaiki pegunungan, dan dia melihat ada sebuah bangunan yang tidak begitu megah, joko sangkrib tertarik untuk melihat lebih jelas, dan ternyata itu adalah kraton yang dihuni oleh satu makhluk yang bernama dewi nawang sih. Kemudian joko sangkrib berkenalan dengan dewi nawang sih, setelah mereka berkenalan mereka sama-sama memiliki keinginan, joko sangkrib menginginkan seluruh tubuhnya menjadi bersih tanpa koreng, sedangkan dewi nawang sih menginginkan dirinya menjadi manusia. Lalu si joko sangkrib menuruti kemauannya asalkan dia mau menikah dengan joko sangkrib, kemudian dewi nawang sih menyetujuinya asalkan joko sangkrib mau mandi di sumur yang nawang sih tunjuk, dan mandilah joko sangkrib di situ, setelah joko sangkrib selesai mandi di sumur tersebut joko sangkrib terkejut melihat bahwa seluruh tubuhnya menjadi bersih tanpa kotoran, sumurnyapun sampai saat ini masih ada, anehnya sumur tersebut tidak pernah kekurangan air.
Setelah joko sangkrib bersih, mereka menikah dan dewi nawang sih menjadi manusia sempurna, mereka berduapun dikaruniai seorang anak perempuan yang diberi nama dewi nawang sasi. Mereka bertiga hidup di kraton tersebut, setelah nawang sasi tumbuh besar, joko sangkrib meminta izin untuk mengembara, setelah diizinkan mengembara, jaka sangkrib pergi meninggalkan dewi nawang sih dan dewi nawang sasi. Setelah lama mengembara, joko sangkrib tak kunjung pulang sampai ajal menjemput dewi nawang sih dan dewi nawang sasi. Hingga kini jasad joko sangkrib tak di ketahui keberadaannya.

Barangkali banyak yang sudah paham, bagaimana kisah legenda Jaka Tarub dan tujuh bidadari. Cerita keisengan pemuda Jaka Tarub mengintip 7 bidadari yang sedang mandi di sungai, berlanjut dengan keisengan mencuri selendang milik salah satu bidadari yang diletakkan di pinggir sungai. Setelah selesai mandi, ke-enam bidadari pulang kembali terbang ke kahyangan. Tinggal satu bidadari yang tidak bisa terbang, karena selendang saktinya dicuri Jaka Tarub. Konon bidadari itu bernama Dewi Nawangwulan.
Cerita selanjutnya, bidadari yang tertinggal teman-temannya, menikah dengan Jaka Tarub. Dalam kisah tersebut pasutri Jaka Tarub dan bidadari Dewi Nawangwulan dikarunia seorang putri bernama Dewi Nawangsih.
Kesaktian bidadari Dewi Nawangwulan ialah bisa menanak nasi sebakul cukup dengan sebutir beras. Dengan syarat, alat penanaknya tidak boleh dibuka. Suatu saat Jaka Tarub melanggar syarat itu. Hilang sudah kesaktian bidadari Dewi Nawangwulan menanak nasi sebakul cukup dengan sebutir beras. Karena itu kemudian menanak nasinya seperti lumrahnya manusia. Hingga hampir habis cadangan berasnya, baru ketahuan oleh bidadari Dewi Nawangwulan, ternyata selendangnya disembunyikan di dalam simpanan beras.
Dewi Nawangwulan marah, lantas mau kembali ke Kahyangan. Walaupun tidak diperbolehkan oleh suaminya, Jaka Tarub. Tetap bersikeras juga. Hanya mau turun ke bumi jika menyusui putrinya yang kala ditinggalkan, masih bayi.
Kisah selanjutnya kemudian Dewi Nawangsih dinikahkan dengan Pangeran Bondan Kejawan atau disebut juga dengan Lembu Peteng dari Majapahit.
Kisah cerita legenda Jaka Tarub dan 7 bidadari ditengarai peristiwanya berada di daerah Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Terbukti dengan adanya peninggalan cagar budaya, yang berupa lesung dari batu. Lesung adalah alat menumbuk padi. Peralatan pertanian yang lumrah ada di pedesaan. Lesung yang dipercaya sebagai peninggalan Jaka Tarub seperti terlihat pada gambar di atas, berlokasi di wilayah Giring. Dari Wonosari mengambil arah jurusan Paliyan kira-kira 8 km.
Dari tempat lesung peninggalan Jaka Tarub, ke arah Gua Maria, sekitar 5 km di atas bukit ada komplek pemakaman Jaka Tarub, Pangeran Bondan Kejawan, Dewi Nawangsih, dll.
Silahkan mengunjungi jika sampai di daerah Gunung Kidul, namun tidak akan menemukan bidadari yang mandi di sungai. Apalagi kalau musim kemarau, sungainya kering.

Sabtu, 03 November 2018

versi cerita rakyat Lutung Kasarung dari Kebumen Jawa Tengah yang divisualisasikan di Obyek Wisata Goa Jatijajar

Legenda Raden Kamandaka Versi Jawa Tengah
 


Legenda Raden Kamandaka
 atau dikenal sebagai Lutung Kasarung diceritakan dalam beberapa versi. Cerita dibawah ini merupakan versi cerita rakyat Lutung Kasarung dari Kebumen Jawa Tengah yang divisualisasikan di Obyek Wisata Goa Jatijajar. Kisah ini bermula pada zaman dahulu Raja Kerajaan Pajajaran yaitu Prabu Siliwangi memiliki 3 orang putra dan 1 orang putri dari dua permaisuri. Pangeran Banyak Cotro dan Pangeran Banyak Ngampar adalah putra prabu Siliwangi dari permaisuri yang pertama. Kemudian ketika permaisurinya meninggal, prabu Siliwangi menikah lagi dengan putri Kumudaningsih yang melahirkan pangeran Banyak Blabur dan Dewi Pamungkas.               



Suatu hari prabu Siliwangi memanggil pangeran Banyak Cotro dan Banyak Ngampar untuk menghadap. “Anakku, aku merasa sudah saatnya aku menyerahkan tampuk kerajaan ini kepada penerusku. Karena kalian berdua adalah anakku yang paling tua, maka aku akan menyerahkannya pada salah satu dari kalian,” ujar prabu Siliwangi. “Ayahanda,” kata pangeran Banyak Cotro. “Ananada belum merasa pantas menerima tanggung jawab ini. Karena masih banyak kekurangan yang ananda miliki. Seorang raja haruslah bijaksana sementara ananada belum memiliki ilmu dan wawasan yang cukup. Lagipula seorang raja harus sudah memiliki pendamping hidup sementara ananda masih bujangan.”
“Kalau begitu sebutkan saja putri yang kau inginkan. Ayah pasti akan segera melamarnya,” kata prabu Siliwangi. “Ampun ayah. Tapi ananda belum mau menikah sebelum menemukan seorang putri yang mirip dengan almarhum ibunda,” kata Banyak Cotro. “Wah sulit sekali! Dimana kau bisa menemukannya? Dan bagaimana kalau sampai tua kau tidak menemukannya?” tanya prabu khawatir.
“Ananada pasti menemukannya ayah. Karena ananda sudah sering memimpikannya. Untuk itu, ijinkan ananda untuk pergi berkelana. Selain untuk mencari pengalaman, ananda juga akan mencari calon istri nanda,” kata Banyak Cotro. “Hmmm…baiklah! Aku rasa keputusanmu cukup baik,” kata prabu.
Beberapa hari kemudian pangeran Banyak Cotro memulai perjalanannya. Tujuan pertamanya adalah ke daerah Tangkuban perahu untuk menemui seorang resi yang bernama Ki Ajar Winarong. Sang resi menurunkan beberapa ilmunya, dan memberikan banyak wejangan. Sebelum meneruskan perjalanannya, sang resi menyuruh pangeran Banyak Cotro untuk menyamar sebagai seorang rakyat biasa dan mengganti namanya menjadi Raden Kamandaka.
Setelah berjalan berhari-hari, raden Kamandaka tiba di kabupaten Pasir Luhur. Kebetulan ia bertemu dengan patih Reksonoto yang sudah tua dan tidak mempunyai anak. Patih Reksonoto sangat senang melihat raden Kamandaka. Karena selain halus budinya, ia juga sangat tampan dan gagah. Maka patih Reksonoto mengangkatnya sebagai anak.
Suatu hari patih Reksonoto mengatakan bahwa ia diundang oleh Adipati Kanandoho yang memerintah kabupaten Pasir Luhur, untuk ikut menghadiri pesta menangkap ikan di kali Logawa. Raden Kamandaka sudah sering mendengar ayah angkatnya bercerita mengenai keluarga adipati. Ia tahu bahwa adipati tersebut memiliki tiga orang putri. Dua yang tertua telah menikah, tinggal putrinya yang bungsu yaitu Dewi Ciptoroso yang masih lajang.
“Ayahanda, bolehkah aku ikut melihat pesta tersebut?” tanya raden Kamandaka.
“Ah sayang sekali, pesta ini hanya dihadiri oleh para pembesar dan pejabat saja. Tapi lain kali aku pasti akan mengenalkanmu pada adipati,” kata patih Reksonoto.
Diam-diam raden Kamandaka yang ingin sekali melihat pesta itu, mengikuti ayah angkatnya. Pesta tersebut berlangsung meriah. Semua keluarga adipati ikut turun ke kali dan berebut menangkap ikan. Begitu pula raden Kamandaka. Karena semua begitu asyik mengejar ikan yang berlarian, tidak seorang pun memperhatikan kehadiran raden Kamandaka.

Dalam satu kesempatan secara tidak sengaja, raden Kamandaka bertubrukan dengan dewi Ciptoroso. Raden Kamandaka tertegun dan terpesona melihat dewi Ciptoroso yang wajahnya sangat mirip dengan ibundanya. Ia pun jatuh cinta. Demikian pula dengan dewi Ciptoroso saat melihat pemuda gagah di depannya, ia langsung jatuh hati. Mereka pun berkenalan. Karena takut perkenalan mereka diketahui oleh ayahnya, dewi Ciptoroso meminta raden Kamandaka untuk menemuinya nanti malam di taman Keputren.
Tanpa kesulitan berarti, raden Kamandaka berhasil menemui kekasihnya di taman keputren yang sebenarnya dijaga ketat dan dikelilingi tembok tinggi. Mereka saling melepaskan rindu.
“Wahai pemuda yang gagah, katakan padaku, putra siapakah engkau?” tanya Dewi Ciptoroso.
“Aku adalah putra patih Reksonoto,” jawab raden Kamandaka.
Namun kehadirannya segera diketahui oleh para penjaga kadipaten yang langsung mengejarnya.
Untunglah raden Kamandaka memiliki ilmu kesaktian yang tinggi sehingga dapat dengan mudah meloloskan diri. Sayang seorang pengawal sempat mendengar identitasnya, sehingga keesokan harinya adipati memanggil patih Reksonoto untuk menghadap.
“Patih. Apa kau tahu kenapa aku memanggilmu?” tanya adipati.
“Tidak raden!” jawab patih.
“Apa benar kau memiliki putra bernama Kamandaka?” tanya adipati.
“Benar, dia adalah anakku,” jawab patih dengan bangga.
“Anak itu tadi malam menyelinap ke kaputren dan mencoba menemui putriku. Sungguh kurang ajar. Aku memintamu untuk menyerahkan dia sekarang juga. Aku akan memberikan hukuman yang sangat berat!” bentak adipati.
Patih Resonoto terkejut mendengarnya. Ia tidak percaya anaknya bisa melakukan hal yang nekad. Patih yang sangat menyayangi raden Kamandaka merasa tidak rela anaknya dihukum berat. Maka ia menyuruh raden Kamandaka untuk pura-pura melawannya saat akan dibawa ke kadipaten dan menyuruhnya melarikan diri. Raden Kamandaka dalam rangka meloloskan diri, meloncat ke dalam sungai yang deras dan menghilang. Para pengawal yang membawanya berusaha mencarinya di sepanjang sungai tapi hasilnya nihil. Akhirnya mereka berkesimpulan bahwa raden Kamandaka telah mati dan hanyut. Adipati Kanondoho merasa puas, sementara dewi Ciptoroso sangat berduka kehilangan kekasih hatinya.
Mari kita ikuti perjalanan raden Kamandaka setelah terjun ke sungai. Ia menyelam dan berenang mengikuti arus sungai. Derasnya arus sungai membuatnya beberapa kali menubruk batu-batu besar di tengah sungai dan membuatnya pingsan. Arus sungai membawa tubuh raden Kamandaka mulai melambat ketika mendekati hilir sungai. Seorang pemuda yang sedang memancing di tepi sungai menemukan raden Kamandaka yang terdampar. Pemuda itu bernama Rekajaya anak seorang janda miskin di desa Panagih. Segera setelah raden Kamandaka siuman ia membawanya ke rumahnya dan diperkenalkan pada ibunya. Di sanalah raden Kamandaka menetap dan diangkat anak oleh ibu Rekajaya.
Di desa Panagih tersebut warga desanya terkenal suka menyabung ayam dan sering mengadakan persabungan. Tidak terkecuali Rekajaya yang memiliki ayam andalannya bernama “Mercu”. Karena raden Kamandaka sudah diangkat saudara oleh Rekajaya, maka mereka berdua sama-sama menjadi botohnya. Semenjak ikut merawat ayam tersebut, si Mercu selalu menang dalam setiap persabungan. Lama kelamaan nama raden Kamandaka menjadi terkenal di desa Panagih dan sekitarnya.
Kabar keberadaan raden Kamandaka akhirnya sampai di telinga adipati Kanondoho dan membuatnya murka. Ia segera mempersiapkan anak buahnya untuk menangkapnya. Kebetulan pada saat itu, datanglah seorang pemuda yang mengaku bernama Silihwarni ke tempat adipati Kanondoho untuk melamar sebagai prajurit kadipaten. Karena ternyata Silihwarni ini memiliki kesaktian yang cukup tinggi, maka adipati menyuruhnya untuk ikut menangkap dan membunuh raden Kamandaka. Sebagai bukti keberhasilannya, adipati meminta agar Silihwarni membawa hati dan jantung raden Kamandaka ke hadapannya yang disanggupi oleh Silihwarni.
Silihwarni sebenarnya adalah pangeran Banyak Ngampar, adik kandung pangeran Banyak Cotro atau raden Kamandaka sendiri. Ia menyamar sebagai seorang rakyat biasa karena ingin menemukan kakaknya tersebut dan membawanya pulang.
Silihwarni dan prajurit adipati Kanondoho lainnya dengan membawa beberapa anjing pelacak, pergi ke desa Panagih. Mereka berpura-pura ikut mengadu ayam, padahal diam-diam Silihwarni mendekati raden Kamandaka yang sedang meneriaki si Mercu yang sedang bertanding. Lalu Zlllep!!! Silihwarni menikamkan Kujang Pamungkasnya ke tubuh raden Kamandaka hingga terluka. Untunglah raden Kamandaka cukup sakti sehingga ia bisa melarikan diri. Luka yang dideritanya membuat raden Kamandaka memutuskan untuk bersembunyi di sebuah gua. Silihwarni yang juga sampai di depan gua tersebut menantang raden Kamandaka untuk bertarung.
“Hei Kamandaka, jangan jadi pengecut! Keluarlah dan hadapi aku!” kata Silihwarni.
“Hei pemuda ingusan! Jangan kau kira aku takut padamu! Tidak ada kata takut bagi Banyak Cotro anak prabu Siliwangi,” kata raden Kamandaka.
“Apa? Benarkah kamu Banyak Cotro?” tanya Silihwarni.
“Ya! Kenapa? Kau takut?” tanya raden Kamandaka.
“Ampuni aku kakang, ini aku Banyak Ngampar adikmu! Aku kesini mencari kakang. Tak disangka ternyata aku malah melukai kakakku sendiri,” ujar Silihwarni.
Raden Kamandaka segera berlari keluar menemui Silihwarni.
“Banyak Ngampar? Adikku? Benarkah? Kamu sudah banyak berubah, sampai-sampai aku tidak mengenalimu,” kata raden Kamandaka.
Mereka berpelukan dan saling bermaafan. Kemudian Silihwarni membunuh salah satu anjing pelacaknya. Hati dan jantung anjing itulah yang olehnya dipersembahkan kepada adipati Kanondoho.
Sementara itu raden Kamandaka bertapa di dalam gua memohon petunjuk kepada Tuhan. Hingga pada suatu malam dia bermimpi mendapat sebuah pakaian “kera” dari seorang kyai berbaju putih. Menurutnya, jika ia ingin mendapatkan Dewi Ciptoroso ia harus memakainya dan kemudian harus pergi ke hutan Batur Agung. Setelah memberikan baju tersebut, sang kyai pun menghilang.
Raden Kamandaka tersadar dari semedinya. Dilihatnya baju Lutung tersebut telah ada di pangkuannya. Maka ia segera memakainya. Ajaib! Begitu ia memakainya, ia pun berubah menjadi seekor kera yang besar. Sesuai petunjuk kyai itu, raden Kamandaka segera pergi menuju hutan Batur Agung. Kebetulan saat itu adipati Kanondoho dan bala tentaranya sedang berburu di hutan tersebut. Salah seorang prajuritnya menemukan kera jelmaan eaden Kamandaka dan menangkapnya kemudian membawanya ke hadapan adipati. Adipati sangat senang dengan kera itu. Selain karena bentuknya yang berbeda dari kera lainnya, ia pun kelihatannya sangat jinak. Maka adipati membawanya pulang ke kadipaten.
Ketiga putri adipati berebut ingin memeliharanya. Adipati lalu menyuruh ketiga putrinya untuk memberinya makan. Barang siapa yang makanannya diterima oleh kera tersebut, maka ia boleh memeliharanya. Tentu saja kera tersebut hanya menerima makanan dari Dewi Ciptoroso. Dengan demikian Dewi Ciptorosolah yang boleh memeliharanya. Karena kera itu kelihatannya sangat manja dan tidak mau lepas dari sang dewi, maka dewi ciptoroso mengijinkannya untuk tidur di kamarnya.
Malam harinya, saat Dewi Ciptoroso hendak mengucapkan selamat tidur pada keranya. Tiba-tiba kera tersebut kembali menjelma menjadi raden Kamandaka. Dewi Ciptoroso terkejut bercampur bahagia melihat kekasihnya telah berada di hadapannya. Raden Kamandaka meminta Dewi Ciptoroso untuk merahasiakan hal tersebut. Maka tidak heran jika kemudian Dewi Ciptoroso dan kera jelmaan itu semakin lengket satu sama lain. Dimanapun Dewi Ciptoroso berada, sang kera pasti ada di sampingnya.
Suatu hari Prabu Pule Bahas dari Nusa Kambangan meminang Dewi Ciptoroso. Prabu ini terkenal sangat kejam jika keinginannya tidak dituruti. Dewi Ciptoroso dengan sedih mengadu pada raden Kamandaka.
“Oh kakang! Apa yang harus aku perbuat? Aku seperti memakan buah simalakama. Jika aku menolak, ia pasti akan memporakporandakan seluruh kadipaten. Namun jika aku menerima, aku pasti menderita karena berpisah denganmu,” isak dewi Ciptoroso.
“Jangan sedih Nyai. Aku sudah punya jalan keluarnya. Terima saja lamarannya! Dengan syarat, ia harus mengijinkamu membawaku ikut bersamamu,” kata raden Kamandaka.

Singkatnya, hari pernikahan pun tiba. Prabu Pule Bahas yang merasa terganggu dengan kehadiran si kera, lama-kelamaan habis kesabarannya. Pada satu kesempatan, ia memukul kepala si kera dengan keras. Kera jelmaan raden Kamadaka balik menyerang prabu Pule Bahas sehingga terjadi pertarungan sengit. Prabu Pule Bahas tidak menyangka ia akan diserang dengan begitu hebat. Meski ia mengerahkan semua kesaktiannya, namun karena kesaktian raden Kamandaka lebih tinggi, akhirnya ia pun tewas di tangan kera jelmaan tersebut.
Kera tersebut kemudian kembali menjelma menjadi raden Kamandaka. Di hadapan semua yang hadir ia menyatakan identitasnya sebagai putra prabu Siliwangi. Adipati Kanondoho tidak dapat lagi menghalangi niat raden Kamandaka untuk menyunting putrinya. Hari itu, mereka berdua pun resmi dinikahkan. Akhirnya raden Kamandaka menetap di Pasir Luhur dan hidup bahagia selamanya. (dari berbagai sumber)